Upaya ini bisa dimulai dengan mendata seluruh bangunan budi daya sarang burung walet yang ada di seluruh kecamatan atau desa. Ini menjadi dasar dalam menggali pendapatan dari IMB dan PBB.
Pendataan itu juga menjadi bahan bagi Bapenda untuk menggali pendapatan dari sarang burung walet yang dihasilkan, meski pemungutannya didasarkan penghitungan mandiri oleh pemilik bangunan.
“Seperti di desa-desa itu IMB-nya mungkin tidak ada. Saya pernah menjadi kepala desa sehingga cukup tahu itu. Kami sepakat ini kita optimalkan sehingga peningkatan pendapatan bisa berdampak terhadap pembangunan daerah,” demikian Abadi.
Sementara itu berdasarkan data Bapenda pada 2020 lalu baru 109 objek pajak bangunan budi daya sarang walet yang pemiliknya rutin membayar pajak. Selama ini kita koordinasi melalui asosiasi pengusaha sarang burung walet.
Pemerintah daerah mengharapkan kesadaran pengusaha sarang burung walet untuk membayar pajak sarang walet karena hasilnya juga digunakan untuk pembangunan daerah ini.
Jika banyak pengusaha walet yang rutin membayar pajak, hasilnya diyakini cukup signifikan karena potensinya masih besar.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menarik minat pengusaha walet membayar pajak.
Pemerintah daerah membuat kebijakan menurunkan tarif pajak sarang walet dari 10 persen menjadi 5 persen yang diberlakukan mulai Januari 2019 lalu. Dampaknya positif karena makin banyak pengusaha yang sadar membayar pajak.
Tahun 2020 target pendapatan asli daerah daerah pajak sarang burung walet setelah perubahan, dipatok Rp350 juta. Realisasinya ternyata melampaui target yaitu sebesar Rp511.902.890 atau 146,26 persen.
Pajak sarang walet diterapkan dengan asas ‘self assessment’ yakni wajib pajak menghitung, menetapkan dan menyetor sendiri pajak yang menjadi kewajiban mereka.
Sistem ini bertujuan agar pengusaha bisa dengan kesadaran sendiri dan tidak terbebani dalam membayar pajak.
Sumber: https://www.borneonews.co.id//berita/264416-pajak-usaha-burung-walet-bisa-tingkatkan-pad-kotim