Hal ini dikarenakan pengadministrasian pertama dilakukan di tingkat desa. Selain itu juga desa lebih memahami dan menguasai persoalan administrasi dan territorial di wilayah desa.
Ia juga mendukung agar di tingkat desa ada transformasi penting pengelolaan dan inventarisasi tanah di wilayah desa tersebut.
Sehingga, ketika terjadi kepemimpinan dan aparatur desa baru, data itu masih ada dan jadi acuan dalam menyetujui usulan warga.
“Selama ini karena tidak tersistem rapi, surat dan objek tanah yang diterbitkan itu tidak ada dalam database desa secara komputer. Desa kebanyakan masih mengandalkan pencatatan manual di buku induk atau register,” ucapnya.
Diakuinya juga, kadang sengketa antarwarga ini memiliki legalitas sama-sama SKT dan di keluarkan desa yang sama pula.
Persoalan tumpang tindih ini akibatnya menyebabkan renteten konflik pertanahan di Kotim ini tidak ada habisnya.
Namun, kata dia dengan adanya penekanan dari unsur kejaksaan beberapa waktu lalu, saat ini pengadminitrasian pertanahan mulai dari tingkat desa hingga BPN sudah mulai dibenahi. (NACO/B-7)
Baca berita selengkapnya di Borneo News.