Menanggapi persoalan ini, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah mengatakan, tak ada urgensi soal kebijakan dukcapil tersebut. “Untuk apa?” katanya, Selasa (23/4).
Menurut dia, Jakarta bukan kota tertutup. Jika seseorang tidak tinggal di Jakarta, meski tercatat sebagai penduduk Jakarta, sebenarnya tidak masalah. Sementara bagi warga Jakarta yang sudah meninggal dunia, seharusnya hanya dilaporkan ke pihak RT dan RW.
“Sekarang, yang jadi masalah, jumlahnya (NIK bakal dinonaktifkan) itu tak seberapa. Penduduk luar yang tinggal di Jakarta kan enggak banyak. Jadi untuk apa?” tutur dia.
Alasan agar penyaluran bantuan sosial (bansos) bagi warga Jakarta tepat sasaran, menurut Trubus, mengada-ada. Ia berpendapat, bansos hanya terkait persoalan pendataan. “Kalau dulu pada masa pandemi Covid-19 dikasihnya (bansos) belum sempurna. Jadi banyak yang salah sasaran,” ujar Trubus.
“Tapi kalau sekarang, aplikasi dan datanya sudah matang. Sudah tertera dengan baik, relatif sempurna.”
Ia menambahkan, umumnya warga yang terkena penonaktifan tinggal di Bogor, dengan KTP Jakarta. Mereka masih bekerja di Jakarta. Artinya, mereka masih memberikan berkontribusi pada Jakarta.
“(Status) Jakarta kan sekarang bukan ibu kota lagi. Jadi, adanya aglomerasi berarti dengan Bogor (status Jakarta) apa bedanya? Kan sama,” kata Trubus.
Sebelumnya, DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) menjadi undang-undang melalui rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/3). Dengan demikian, Jakarta tak lagi menyandang status ibu kota. UU DKJ mengatur pula soal kawasan aglomerasi, yang memungkinkan Jakarta membangun sinergi dengan Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur.
Malahan, menurut Trubus, kebijakan penonaktifan NIK dapat mempersulit warga Jakarta sendiri. Sebab, ada warga Jakarta yang tidak mempunyai rumah alias masih ngontrak atau indekos. “Jadi, tempat (rumah) yang disewa, tidak ada yang menempati,” ujar Trubus.
“Justru yang menempati kebanyakan adalah orang luar Jakarta.”
Hal ini pun akan mempersulit seseorang dalam mengurus perpindahan. “Program seperti ini menghabisi anggaran, buang-buang APBN saja,” ucap Trubus.
Apalagi, sebut Trubus, NIK berlaku nasional. Tak ada masalah seseorang tinggal di mana pun, asal masih di wilayah Indonesia. “Misalnya, Anda punya KTP Papua, terus tinggal di Jakarta. Memangnya bermasalah? Ya, enggak, toh,” kata Trubus.
“Justru suatu saat, orang yang mempunyai NIK Jakarta ini yang tinggal di luar daerah, dapat tinggal di Jakarta kan sewaktu-waktu. Naikin pertumbuhan ekonomi di wilayah Jakarta.”
Terlebih, ujar Trubus, menonaktifkan NIK KTP sama saja dengan menghilangkan identitas seseorang. Dengan begitu, seseorang tidak bisa mengurus apa pun. “Dihapus (dinonaktifkan) ya (sama saja dengan) dihilangkan,” ujar dia.
Daripada menonaktifkan NIK, Trubus menyarankan lebih baik pendataan warga Jakarta. Terutama, bagi warga yang sudah tidak tinggal di Jakarta atau terdampak penonaktifan NIK. Sebab, sudah ada UU DKJ. Upaya itu disebut Trubus akan lebih efektif dan efisien.
“Contohnya, saya tinggal di Jakarta. Ubah saja menjadi DKJ. Ikutin saja sesuai domisili mereka tinggal,” ucap Trubus.
“Tapi, itu merugikan Jakarta. Karena kebanyakan orang itu tinggal di Tangerang, Bekasi, dan Bogor.”
Sumber: https://www.alinea.id/gaya-hidup/apa-urgensi-penonaktifan-nik-warga-jakarta-b2k5o9POF